Bahaya Laten dan Menjamurnya Hoax Dalam Revolusi Media

Bahaya Laten dan Menjamurnya Hoax Dalam Revolusi Media
Muhammad Arif Bina. Mahasiswa jurusan Kajian Komunikasi dan Masyarakat Islam, Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Foto: Dok istimewa.

Penulis: Muhammad Arif Bina. Mahasiswa jurusan Kajian Komunikasi dan Masyarakat Islam, Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga.

Perubahan adalah sebuah keniscayaan yang tidak seorangpun punya kuasa untuk menolaknya. Itu terjadi hampir di semua lini kehidupan manusia termasuk media massa. Di awal penemuan mesin cetak sebagai penanda revolusi pertama dari media massa tidak ada yang mengira bahwa transaksi informasi akan semudah sekarang. Terhubung melalui melalui jaringan internet, menembus batas geografis dan mudah diakses kapan dan di manapun.

Tidak berhenti di situ, media hari ini terus mengalami perubahan dan penyempurnaan. Oleh Roger Fidler, fenomena ini disebut sebagai mediamorfosis. Proses mediamorfosis ini menurutnya sedikitnya menjadikan media mengalami tiga perubahan inti, yakni; Koevolusi, konvergensi dan hybriditas atau kompleksitas (Fidler, 2003).

Unsur paling dominan yang terdapat dalam koevolusi media menurut pandangan Fidler adalah bahasa. Jauh sebelum mengenal medium komunikasi untuk bertukar informasi, bahasa digunakan oleh komunikan dan komunikator sebagai sebuah simbol, tanda dan kode untuk saling berinteraksi.

Bahasa sebagai sebuah simbol dan kode, baik yang diucapkan dan ditulis di kemudian hari mengalami transformasi yang besar seiring ditemukannya mesin cetak pertama kali oleh seorang pandai besi berkebangsaan Jerman, Johannes Gutenberg pada abad ke-XV. Kehadiran mesin cetak dengan surat kabar sebagai turunannya menjadikan distribusi informasi kian masif dan mudah untuk diakses oleh banyak orang.

Koevolusi media ini terus berlanjut dan memunculkan peradaban baru yang saat ini kita kenal dengan digitalisasi. Pada titik ini, mediamorfosis berlanjut ke tahap yang kedua yakni konvergensi. Dalam proses konvergensi, terjadi persilangan antar medium informasi yang masing-masing entitas itu kemudian memunculkan entitas baru.

Untuk membaca koran, saat ini kita tidak perlu lagi menunggu atau membeli dari loper koran, membacanya pun tidak lagi harus memegang kertas. Audio visual yang dulunya hanya bisa kita nikmati melalui televisi sebagai platform penyedia layanan tersebut, kini bisa kita nikmati melalui smartphone yang bisa diakses kapan saja. Begitu juga radio. Entitas baru yang kita sebut smartphone ini merupakan entitas yang lahir dari penyatuan entitas-entitas lama seperti radio, koran dan televisi. Lebih jauh, Fidler berpendapat bahwa konvergensi adalah titik di mana tidak ada lagi pembatas atau perbedaan antara satu media dengan media lainnya.

Konvergensi media ini pada akhirnya membawa kita pada tahap hybriditas atau kompleksitas media sebagai sebuah konsekuensi dari proses mediamorfosis. Kompleksitas media ini meniscayakan kerumitan dalam proses komunikasi.

Kerumitan ini dipengaruhi oleh konektivitas dan informasi yang berlebihan yang kita terima. Meskipun memudahkan kita semua dalam hal akses informasi, banyaknya platform media massa ini juga memiliki konsekuensi lain yakni banalitas informasi yang kita terima. Pada titik ini, Fidler memastikan hadirnya kekacauan atau chaos dalam proses komunikasi, transaksi informasi dan dalam ruang publik kita.

Menjamurnya Hoax

Ilustrasi Hoax (Foto: Thinkstock)

Kehadiran internet dan media sosial sebagai turunannya yang mudah diakses, cepat dan menembus batas-batas geografis serta tingkat interaktifitasnya yang tinggi telah memberikan perubahan yang cukup signifikan di tengah-tengah masyarakat.

Karakteristik media sosial yang demikian itu dapat memungkinkan setiap orang untuk menjadi produsen, konsumen, dan distributor informasi dalam waktu yang bersamaan (Brian E. Weeks, R. Lance Holbert, 2013).

Ini tentu merupakan hal yang baik, meskipun di sisi lain tidak bisa kita nafikkan bahwa fenomena ini mengakibatkan pendangkalan dan reduksi makna akan satu informasi. Hal paling parah dari itu adalah sebagai pengguna atau user media sosial kita semakin sulit membedakan antara informasi yang benar dan hoax.

Media sosial sebagai saluran massa saat ini yang populer telah menciptakan perubahan relasi antar konsumen dan produsen. Pada periode awal revolusi media, produsen sekaligus distributor informasi adalah perangkat komunikasi massa sebut saja koran, televisi dan radio. Perangkat ini terdiri dari kumpulan orang-orang yang bekerja atau sengaja bekerja untuk memproduksi sebuah informasi. Adapun konsumen adalah mereka yang menggunakan perangkat komunikai massa tersebut.

Pasca kehadiran media sosial kemudian pengertian tentang konsumen dan produsen tidak lagi bertumpu pada perangkat komunikasi yang digunakan melainkan beralih pada informasi yang dipertukarkan. Sederhananya, produsen adalah yang memproduksi informasi dan konsumen adalah yang mengkonsumsi informasi. Semakin ke sini, produsen dan konsumen ini kian tidak terdeteksi karena kompleksitas media baru yang memungkinan siapapun bisa menjadi produsen dan konsumen dalam waktu yang bersamaan (Syahputra, 2019).

Perubahan relasi antar konsumen dan produsen pasca kehadrian media sosial inilah yang mengakibatkan semakin sulitnya deteksi kebenaran informasi di era ini. Kesulitan ini di karenakan sebagaimana sebuah informasi di media sosial, hoax juga bisa diproduksi, dikonsumsi dan didistribusi oleh siapapun serta bisa jadi untuk tujuan apapun.

Meski bukan fenomena baru, perkembangan hoax semakin subur seiring dengan kemudahan akses yang ditawarkan media sosial. Tidak heran hal ini acap kali membuat gaduh bahkan mengakibatkan keributan serius di ruang publik kita.

Subjektifitas Kebenaran

Ilustrasi platform media sosial. Foto internet.

Informasi berlebihan yang kita terima melalui berbagai platform media sosial saat ini kerap menempatkan kita pada posisi subjektifitas dalam melihat sebuah kebenaran. Jejaring internet yang menjadi pangkal konektifitas media sosial hanya akan menghadapkan kita pada hal-hal yang kita inginkan bukan hal yang kita butuhkan.

Dalam diskursus media, fenomena algoritma mesin pencari semacam ini sering kita sebut sebagai filter buble. Sederhananya, filter bubble adalah polarisasi yang dilakukan secara otomatis oleh mesin pencari di internet. Efek dari polarisasi ini secara sadar akan kita rasakan dalam bentuk keseragaman informasi yang muncul dalam beranda media sosial kita.

Tidak hanya itu, keseragaman informasi tersebut kemudian berpengaruh terhadap cara kita dalam menilai segala sesuatu. Singkatnya, filter bubble kerap membuat kita terisolasi secara intelektual sehingga dalam melihat sebuah permasalahan kita cenderung melihatnya dari satu sudut pandang saja.

Selanjutnya keseragaman informasi ini juga menciptakan fanatisme terhadap satu bentuk pemikiran yang kemudian akan berakibat panjang seperti membenarkan kesimpulan kita terhadap satu persoalan, menolak kebenaran lain dari luar diri dan menutup ruang-ruang diskursif. Sederhananya, filter bubble hanya akan melahirkan individu-individu yang anti kritik yang enggan disalahkan.

Pembahasan tentang media tidak pernah keluar dari dua hal, pertama tentang efek media dan yang kedua adalah pemanfaatan media. Diskursus tentang efek media menyajikan berbagai argumentasi bagaimana media menyebabkan perubahan sikap dan perilaku individu maupun masyarakat.

Berbeda dengan diskursus yang pertama, diskursus media yang kedua berfokus pada pemanfaan media oleh individu atau kelompok untuk berbagai kepentingan. Meski populer dalam kajian media, namun kedua pembahasan ini menempatkan media sebagai sesuatu yang berada di luar dan terpisah dari budaya dan masarakat. Olehnya, sebagai user kita punya kendali penuh terhadap atas diri kita dan tidak terjebak dalam kekacauan dan keriuhan ruang maya.