Geliat Eksistensi Umat Yahudi di Manado, Sulut

Sulawesi Utara – Kota Manado menjadi salah satu kota di Indonesia yang memiliki tingkat toleransi yang tinggi. Fakta di lapangan menunjukan, keturunan Yahudi di daerah yang dijuluki kota seribu gereja itu sudah ada sejak masa penjajahan Belanda.

Saat ini, para penganut Yudaisme telah membentuk komunitas yang hidup berdampingan dengan umat beragama lainnya. Keberadaan komunitas Yahudi di Manado, bagi sebagian masyarakat mungkin sulit dideskripsikan dan dimengerti orang lain.

Sinagoge Shaar Hashamayim, menjadi salah satu tempat peribadatan umat Yahudi. Tempat ini berada di Kota Tondano, Kabupaten Minahasa. Disini mereka melaksanakan ibadah di hari Sabat. Sabat adalah hari di mana umat Yahudi beristirahat, meninggalkan pekerjaan mereka, dan fokus melaksanakan prosesi peribadatan.

Rombongan umat Yahudi yang kebanyakan berasal dari Kota Manado ini bersama-sama membersihkan ruang sinagoge sebelum melaksanakan ibadah. Jadwal ibadah di sinagoge hanya digelar seminggu sekali, dimulai pukul 10.00 WITA.

Seorang penganut Yahudi di Sinagoge, Tondano, Sulawesi Utara. Foto: Dok AFP/RONNY ADOLOF BUOL

Selain diikuti pria dan wanita dewasa, ada juga anak-anak yang turut diajak keluarganya untuk beribadah.

Seorang chazan terlihat membantu membimbing doa pagi itu di bimah, sebuah mimbar di tengah ruang utama sinagoge. Ialah yang memimpin doa, mengisyaratkan pasal berapa saja yang harus dirapal oleh para jemaah.

“Mazmur 102,” komandonya dari balik bimah yang bercorak 3 buah Bintang Daud. Jemaah pun mengikuti instruksi tersebut dengan bersama-sama merapal kitab doa dalam bahasa Ibrani sepanjang prosesi.

Beberapa jemaah ada yang membaca sambil mengangguk-anggukkan badan dan kepala, ke depan-ke belakang. Di pertengahan prosesi ibadah, ada kalanya tiap jemaah berdiam tak melafal doa secara keras, tapi anggukan badan tetap berlangsung.

Tak lama setelah itu, sang pemimpin doa bertanya, “Seperti biasa, (di sini) laki-laki ada yang sakit? Perempuan ada yang sakit? Ndak ada ya. Baik kita berdoa untuk bangsa dan negara, ya.”

Rabi Yaakov Baruch (kiri) memegang Menorah di Sinagoge, Tondano, Sulawesi Utara. Foto: Dok AFP/RONNY ADOLOF BUOL

Proses pembacaan doa baru selesai setelah lebih dari satu jam. Kemudian, ibadah dilanjutkan dengan kotbah dan ditutup dengan nyanyian doa. Sisanya, biasanya ada diskusi tentang ajaran-ajaran agama Yudaisme yang dipimpin oleh rabi atau pemuka agama umat Yahudi. Namun karena kebetulan rabi berhalangan hadir, acara siang itu hanya dilanjutkan dengan ramah tamah dan makan bersama.

Ibadah sakral umat Yahudi hari itu berlangsung khidmat. Masyarakat sekitar sinagoge pun sudah tahu dan maklum rutinitas ritual pekanan di sana. Hubungan warga sekitar dengan umat Yahudi berjalan harmonis.

Yeni Mamengko (67), warga yang tinggal tepat di belakang sinagoge, bahkan pernah dititipi kunci rumah ibadah tersebut antara tahun 2004-2010. Meski berbeda keyakinan, Yeni tidak keberatan. Ia adalah penganut Kristen Protestan.

Dari sini potret kerukunan antarumat beragama tercipta. Tak pernah ada penolakan terhadap sinagoge atau prosesi ibadah di dalamnya dari warga sekitar yang notabene beragama berbeda.

“(Penolakan) kayaknya enggak. Kalau mau tahu orang Minahasa itu welcome, mau siapa aja yang datang terserah, selama saya di sini, sepengetahuan saya, enggak pernah (ada penolakan),” kata Yeni.

Yeni Mamengko (67), warga yang tinggal di belakang Sinagoge Shaar Hashamayim, Tondano pernah dititipi kunci sinagoge oleh jemaah di sana. Foto: Dok Agaton Kenshanahan/kumparan

Faktanya, bangunan rumah yang terletak di Kelurahan Rerewokan, Kecamatan Tondano Barat, Kabupaten Minahasa, itu memang sudah berdiri lama sebelum digunakan sebagai sinagoge. Tahun 1990-an saat Yeni pertama kali tinggal di Rerewokan, bangunan di sebelah rumahnya itu sudah ada.

Ada cerita di balik alih fungsi bangunan tersebut sebagai sinagoge. Menurut Rabi Yaakov Baruch, pemimpin jemaah di sinagoge, rumah tersebut dibeli dari kerabatnya yang keturunan Belanda tahun 2004.

“Jadi sejak dibeli tahun 2004 langsung jadi sinagoge sampai sekarang,” jelas Yaakov saat diwawancarai kumparan di rumahnya di Kota Manado.

Sebelum itu, Yaakov dan penganut Yudaisme lain harus berpindah-pindah ketika mau beribadah dengan cara menyewa gedung di Kota Manado.

Sinagoge ini pun ramai dikunjungi tamu dari luar kota maupun mancanegara. Puncaknya pada saat gelaran World Ocean Conference berlangsung tahun 2009 di Manado. Di gelaran itu, tamu Yahudi diarahkan ke sinagoge di Tondano untuk beribadah.

“Pemerintah daerah membantu merenovasi, tahun 2009. Pemda Sulut dan Minahasa, dua-duanya. Itu sampai jalan di depan diaspal licin karena (ada sinagoge) itu,” terang Yaakov.

Simbol Eksistensi Yahudi

Sinagoge di Tondano itu menjadi satu-satunya rumah ibadah penganut Yudaisme yang eksis di Indonesia. Sebelumnya, menurut Yaakov, sinagoge lain pernah ada di Jalan Garuda, Kota Manado, namun hancur dibom Jepang tahun 1940-an. Satu lagi juga pernah ada di Surabaya.

Di sinagoge Tondano, umat Yahudi Sulawesi Utara membuktikan eksistensinya. Meskipun sebenarnya, hanya beberapa saja yang secara rutin ikut menghidupkan prosesi ibadah di sana.

“Kalau yang aktif (ibadah) kalau keluarga Yahudi hanya 3 atau 4 keluarga, keluarga Ezekiel, Bollegraf, keluarga Ishak, tapi banyak yang menyembunyikan diri udah enggak mau tahu,” ucap Rabi berumur 38 tahun ini.

Yaakov tak tahu pasti jumlah keseluruhan umat Yahudi yang ada di Manado, Sulawesi Utara, atau Indonesia secara umum. Dia mengaku kesulitan untuk mendatanya.

“Ya, karena di samping ada yang udah enggak aktif, ada juga yang baru, ada yang ngaku-ngaku, jadi belum bisa didapat data yang (valid),” tutur pria yang juga punya hobi memotret ini.

Satu yang bisa dipastikan Yaakov yakni, jumlah Yahudi yang tergabung di Komunitas Yahudi Indonesia. Dia merupakan salah satu anggota komunitas tersebut. Yaakov menyebut kurang lebih 20 orang Yahudi tergabung di dalamnya.

“Opa-opa kami udah (bikin) komunitas itu dari zaman Belanda, jadi didirikan dari zaman 1700-an terus jalan terus. Ini sudah tinggal cucu-cucunya sekarang (anggotanya). Saya yang paling muda, yang lain sisa sudah opa-opa, oma-oma,” ucap Yaakov.

Sinagoge, tempat ibadah komunitas Yahudi di Tondano, Sulawesi Utara. Foto: Dok Cornelius Bintang/kumparan

Jejak keturunan Yahudi memang sudah ada di Sulawesi Utara tahun 1600-an. Menurut Yaakov, Yahudi yang datang berasal dari dua kelompok, yakni Eropa dan Timur Tengah. Dari Eropa, sebagian besar datang dari Belanda yang masih merupakan leluhur Yaakov.

“Kira-kira sekitar 20 tahun lalu itu saya mulai memutuskan mendalami latar belakang keyahudian di keluarga saya sampai saya harus pergi mencari informasi jauh-jauh ke Eropa sampai ke Israel,” kata Yaakov.

Tahun 2006, Yaakov membuktikan keseriusannya dengan belajar dasar-dasar Yudaisme di sebuah Yeshiva, sekolah agama Yudaisme, di Singapura. Tahun 2009 ia kembali memperdalam ilmunya ke Yeshiva di Israel dan Amerika sampai tahun 2016.

Pendidikan di Yeshiva ini penting bagi mereka para pemeluk Yudaisme. Maka, tak heran bila selama ini Yaakov memikirkan cara agar keturunan dan komunitasnya bisa mempelajari Yahudi di negara yang tak ada Yeshiva seperti Indonesia.

“Usaha saya selama ini, sih, mengumpulkan beberapa literatur yang ada, kita taruh di sinagoge di belakang, lalu coba mengajarkan kepada sesama kita yang ada. Pola mengajar yang saya dapat di Yeshiva,” kata dia.

Eksistensi Yahudi di Sulawesi Utara ini memang bukan hal baru bagi masyarakat setempat. Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Sulawesi Utara, Pendeta Lucky Rumopa melihat bahwa kondisi mereka aman-aman saja. Dia tak pernah mendengar adanya gesekan antara Yahudi dengan umat beragama lain

“FKUB selalu memandang setiap keyakinan orang itu dihargai, apapun keyakinan itu,” ujar Lucky.

Sebagai seorang pendeta, Lucky bahkan selalu mengimbau jemaahnya agar tak menolak keberadaan rumah-rumah ibadah agama lain.

“Bilamana kita warga gereja, kalau misalnya kita merasa terusik ada pembangunan tempat ibadah yang lain berarti iman kita lemah. Itu prinsip saya. Maka itu, kita welcome,” ucapnya.

Hal senada pun disampaikan oleh Kepala Pusat Kerukunan Umat Beragama Sekretariat Jenderal Kementerian Agama, Saefudin. Meski agama Yudaisme bukan merupakan agama yang resmi di Indonesia, dia mengatakan bahwa penganutnya wajib dilindungi.

“Jadi memang semua agama memiliki hak untuk hidup di (Indonesia) sini, di bumi Nusantara ini. Orang Indonesia, yang beragama Yahudi dipersilakan untuk menjalankan hak-haknya, untuk beragama sesuai keyakinan mereka itu,”tandasnya.

Sumber: Kumparan.com