Mengenal Tradisi Lebaran Ketupat di Nusantara

Indonesia menjadi salah satu negara dengan jumlah pemeluk Islam terbesar di dunia, perayaan Idulfitri tentu menjadi hajatan besar. Idulfitri sebagai laku spiritual penting karena menjadi momen untuk umat Islam kembali suci.

Masyarakat Indonesia punya cara sendiri dalam memaknai apa itu kembali ke fitri. Tahun ini, jutaan orang berbondong-bondong kembali ke kampung halaman untuk melantunkan takbir bersama keluarga di Hari Raya Idulfitri.

Perayaan hari besar Islam Idulfitri di Indonesia bukan hanya tentang mudik ke kampung halaman lalu silaturahmi dengan handai taulan di rumah. Salah satunya, tradisi yang secara simultan dirayakan dalam sejarah Nusantara, bernama Lebaran Ketupat.

Lebaran dan Ketupat acapkali menjadi kata yang ditemui saat momen Idulfitri. Keduanya bukan hanya hiasan yang mewarnai momen lebaran, tapi sebuah kata penyerapan makna yang dilahirkan dari perpaduan nilai Islam dan kebudayaan Nusantara.

Adalah Sunan Kalijaga yang menemukan istilah Ketupat dan Lebaran sebagai ornamen perayaan Idulfitri di Nusantara. Ketupat hadir untuk mempertegas makna Lebaran. Ketupat berasal dari kupat yang merupakan parafrase ngaku lepat atau mengakui kesalahan. Empat sisinya menggambarkan empat nafsu manusia. Menyantap ketupat berarti menyambung harap bahwa semua kesalahan manusia akan diampuni.

Jay Akbar pada Majalah Historia mengutip buku Malay Annals yang ditulis A.J Graaf mengungkap bahwa ketupat telah menjadi bagian tradisi Idulfitri Kerajaan Demak pada abad 15. Setelah itu, peradaban Islam di Nusantara menunjukkan bagaimana ketupat menjadi bagian penting hingga saat ini. Ia menjadi makanan wajib yang dihidangkan bersama opor sesaat setelah kita bermaaf-maafan dengan keluarga terdekat.

Lebaran Ketupat adalah momen perayaan tradisional di berbagai wilayah pesisir Indonesia yang menggabungkan keduanya. Pada tujuh hari setelah Hari Raya Idulfitri, masyarakat di beberapa daerah berbondong-bondong ke lokasi perayaan tradisi tersebut dilaksanakan. Seremoni lebaran ketupat digelar dengan makan bersama.

Dalam buku Islam Pesisir karya Nur Syah, lebaran ketupat merupakan salah satu bentuk akulturasi Islam dengan budaya Nusantara yang telah eksis sebelumnya, dan kemudian menjelma menjadi ritual umat Islam di nusantara. Lebaran ketupat diadakan tujuh hari setelah 1 syawal.

Infografis Filsafat Ketupat. Foto:Dok Bagus Permadi/kumparan)

Lebaran ketupat banyak dijumpai di pesisir Jawa Timur atau sering disebut dengan kupatan. Tradisi serupa juga hadir di Pulau Lombok yang bernama Lebaran Topat. Dengan pola penyebaran melalui Wali Songo yang bercirikan pendekatan kultural, ketupat hadir dengan berbagai makna di baliknya.

Sebagai contoh di Lamongan yang terkisahkan Adeke Masjid Sendang Duwu. Tradisi ini bermula sejak 1561 masehi ketika Sunan Drajat dan Sunan Sendang mengadakan jamuan kupat lepet. Laku budaya ini terus berlanjut dengan Festival Lebaran Ketupat di Pantai Watu Kodok setiap tahunnya.

Lebaran Ketupat juga ikut dirayakan di Pulau Lombok. Kesamaan tradisi di karenakan Lombok juga ikut mendapat pengaruh penyebaran Islam di Jawa. Islam Lombok mengenal dua kepercayaan, yaitu Wetu Telu dan Wetu Lima. Keduanya dibedakan oleh perbedaan laku ibadah. Dalam kata lain, Wetu Lima menjalankan salat lima waktu dan lima rukun Islam seperti Islam kebanyakan.

Namun, keduanya memiliki kesamaan tradisi lebaran ketupat. Dikutip dari buku Islam Sasak: Wetu Telu versus Wetu Lima karya Erni Budiyanti, kedua aliran kepercayaan memiliki budaya lebaran ketupat sebagai seremoni menutup Ramadan.

Masyarakat Islam Sasak yang mendominasi populasi Islam di Lombok rutin menjalankan seremoni Lebaran Ketupat. Momen ini digunakan untuk menutup rangkaian puasa Syawal di tujuh hari setelah Hari Lebaran. Pada hari itu, warga Lombok akan menjalani rangkaian seremoni mulai dari ziarah leluhur, zikir, hingga makan bersama di pantai.

Momen lebaran ketupat yang paling terlihat adalah penuhnya pantai-pantai utara di Jawa Timur dan Lombok oleh masyarakat sambil menyantap ketupat. Meski memiliki kesan untuk berlibur, makan ketupat di pantai adalah bentuk pertemuan agama dan tradisi khas Nusantara. Islam di Nusantara tidak bisa serta merta dipisahkan dari pesisir.

Persebaran agama ini diawali dengan interaksi di pesisir pantai yang kemudian menjadi titik awal simbol agama. Bukti jejak-jejak sejarah Islam masih banyak ditemukan di pesisir. Contohnya adalah makam Sunan Bonang di pesisir Gresik, lokasi Islam Bayan di pesisir Lombok Utara, dan makam Syaikh Ibrahim Asmaraqandi di Palang, Jawa Timur. Keberadaan situs ini menunjang lestarinya perayaan lebaran di pesisir.

Di Gorontalo perayaan Lebaran Ketupat pertama kali digelar oleh masyarakat keturunan Jawa-Tondano (Jaton), sejak kedatangan mereka pada tahun 1909. Mereka--transmigran dari Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara --pada saat itu tersebar di Desa Kaliyoso, Reksonegoro, Mulyonegoro, dan Yosonegoro, Kabupaten Gorontalo.

Orang-orang Jaton itu adalah keturunan Kiai Modjo yang diceritakan sempat diasingkan Belanda ke Minahasa. Sebelum akhirnya, mereka menyebar di Gorontalo dengan kebudayaan Lebaran Ketupat atau Hari Raya Sunnah.

Sebelum merayakan Lebaran Ketupat, masyarakat Jaton akan berpuasa sunnah Syawal selama enam hari setelah Idulfitri. Puncaknya, mereka akan membawa makanan ke masjid untuk didoakan, lalu dimakan bersama. Ada juga acara silaturahmi dengan masyarakat sekitar.

Sumber: Kumparan.com