Tumbilotohe, Tradisi Masyarakat Gorontalo Jelang Idulfitri

Kabupaten Gorontalo - Tiga hari menjelang Hari Raya Idul Fitri, masyarakat muslim di Gorontalo beramai-ramai memasang lampu tradisional di depan rumahnya. Kebiasaan itu disebut tumbilotohe atau malam pasang lampu, tradisi sejak jaman dahulu yang masih dipertahankan hingga kini.

Pantauanb banthayo, Kamis (28/4), masyarakat sudah melaksanakan tradisi malam pasang lampu.

Malam pasang lampu di Gorontalo dihiasasi berbagai lampu tradisional. Tradisi tua ini terus dipertahankan masyarakat hingga saat ini. Foto: Dok Wawan Oda

Beragam cerita tentang tradisi malam pasang lampu dipercayai oleh masyarakat Gorontalo. Bupati Gorontalo, Nelson Pomalingi menjelaskan, secara umum malam pasang lampu merupakan kebiasaan masyarakat Gorontalo untuk menerangi jalan menuju ke tempat pertemuan atau ibadah.

Tiga hari menjelang Hari Raya Idul Fitri, masyarakat muslim di Gorontalo beramai-ramai memasang lampu tradisional di depan rumahnya. Foto: Dok Wawan Oda

"Karena dahulu sering kaliraja mengumpulkan para kepala daerah dan juga bawahannya di dalam istana raja untuk melakukan musyawarah, dalam hal membicarakan urusan menjelang Idul Fitri. Kemudian, para kepala daerah ini datang dengan membawa lampu penerangan berbahan getah pohon damar. Saat tiba dilokasi pertemuan, lampu tersebut ditata rapi di depan istana. Sehingga kebiasaan itu menjadi tradisi tumbilotohe," jelasnya.

Kebiasaan itu disebut tumbilotohe atau malam pasang lampu, tradisi sejak jaman dahulu yang masih dipertahankan hingga kini.Foto: Dok Wawan Oda

Tradisi itu sudah ada sejak abad ke-15. Tumbilotohe terbagi atas dua kata, "tumbilo" yang diartikan pasang dan "tohe" yang berarti lampu. Maka tombilotohe merupakan lampu yang digunakan untuk membantu masyarakat Gorontalo yang menuju masjid untuk melaksanakan pembayaran zakat fitrah.

Suasana masyarakat di Kecamatan Atinggola yang melaksanakan tradisi malam pasang lampu. Foto: Dok Wawan Oda

"Waktu itu Gorontalo seperti hutan, dipenuhi pepohonan dan rawa-rawa. Ditambah lagi belum ada listrik seperti saat ini. Jadi prakarsa masyarakat saat itu membuat lampu penerangan yang diletakkan di depan rumah masing-masing," tambahnya.

Saat itu, lanjut Nelson, getah pohon damar menjadi bahan menyalakan lampu. Lalu berganti minyak kelapa karena getah pohon mulai sulit didapat.

Selain tohetutu, Tonggolo'opo ( lampion khas Gorontalo ) juga menghiasi malam pasang lampu. Foto:Dok banthayo/Rahmat Ali

Seiring perkembangan zaman, hal tersebut tetap menjadi tradisi sehingga saat ini lampu-lampu tersebut dipasang di depan rumah, di jalan-jalan, di lahan-lahan kosong nan luas. Bahkan sudah dibuat berupa "alikusu" atau kerangka pintu gerbang khas Gorontalo.

Menurut Budayawan Gorontalo, Halim Rasyid, tradisi ini pernah masuk dalam rekor MURI tahun 2007, dengan menyalakan 5 juta lampu botol.

Seiring perjalanan waktu, masyarakat Gorontalo, mulai menggunakan lampu dari botol bekas. sebagai pengganti pepaya. Foto: Dok banthayo/Burdu

Bahkan, tradisi malam pasang lampu turut dijadikan ajang lomba oleh pemerintah sebelum wabah pendemi Covid-19 melanda.

"Untuk menambah kemeriahan, masyarakat mulai menggunakan lampu listrik yang di rangkai sedemikian rupa. Penggunaan lampu listrik berawal dari harga minyak tanah yang melambung tinggi pada tahun 2012, sehingga pemerintah mulai menyarankan menggunakan lampu listrik," jelas Halim.

Tohetutu, lampu tradisional yang terbuat dari buah pepaya mengkal, hanya bisa ditemui saat perayaan tumbilotohe. Foto: Dok banthayo/Burdu

Halim berharap tradisi malam pasang lampu tidak punah. Sebab, tradisi itu memiliki nilai agama yang sangat tinggi. Apalagi konsep penggunaan lampu yang kini semakin menghilangkan nilai sejarahnya.

"Lampu tradisional yang berbahan baku getah pohon damar yang disebut "tohetutu" ini kemudian dilupakan orang. Hanya beberapa warga yang masih mempertahankan "tohetutu" dengan mencari getah di hutan." tutupnya.

Sumber: Banthayo.id partner resmi kumparan.