Kisah Guru Ngaji Tinggal di Rumah Tak Layak Huni, Basah Saat Hujan

Kisah Guru Ngaji Tinggal di Rumah Tak Layak Huni, Basah Saat Hujan
Fatma Wolango, guru ngaji asal Desa Gentuma, Kecamatan Gentuma Raya, Kabupaten Gorontalo Utara. Sabtu, (29/1). Foto: Dok banthayo

Gorontalo Utara - Fatma Wolango, warga Dusun III, Desa Gentuma, Kecamatan Gentuma Raya, Kabupaten Gorontalo Utara, bersama suami dan enam orang anaknya terpaksa tinggal di sebuah rumah yang tak layak untuk dihuni.

Klik untuk donasi - Bantu Rehab Rumah Guru Ngaji yang Bocor
Upah menjadi guru ngaji hanya sebesar Rp 350.000 perbulan. Tidak mencukupi untuk biaya hidup sehari-hari. Bantu saya rehab rumah.

Rumah pasangan yang dibangun di atas lahan milik orang lain itu nampak jauh dari kata layak. Nipah yang sejatinya melindungi mereka dari terik panas dan hujan mulai rapuh dan berjatuhan ke tanah. Fatma bersama suaminya terpaksa menutup bagian atap yang bolong dengan terpal.

Fatma bersama suaminya terpaksa menutup bagian atap yang bolong dengan terpal. Foto: Dok banthayo

Terkadang jika hujan tiba, Fatma bersama seluruh anggota keluarganya harus menguras keringat menyelamatkan pakaian dan barang-barang agar terhindari dari guyuran hujan yang masuk melalui atap rumah yang bocor. Sebab terpal yang dibuat untuk menutupi atap rumah yang rusak tak mampu menahan air hujan yang turun.

Saat hujan tiba pun, Fatma harus menaruh loyang di dalam kamar anak perempuanya untuk menampung air hujan. Setelah hujan reda, mereka pun harus membersihkan rumah dan mengeringkan lantai yang basah.

Saat hujan tiba pun, Fatma harus menaruh loyang di dalam kamar anak perempuanya untuk menampung air hujan. Foto: Dok banthayo

Seluruh bangunan rumah yang berdinding anyaman bambu itu telah rapuh dimakan usia. Peralatan dapur yang dimilki keluarga itu pun tak luput dari serangan rayap.

"Saat hujan turun, air membasahi seluruh isi rumah karena atap rumah rusak," tutur Fatma.

Tak ada perobotan mewah yang bisa ditemukan di dalam rumah itu. Peralatan dapur dan pakaian dibiarkan tak beraturan. Sebab tak ada lemari yang bisa digunakan untuk menyimpan barang-barang milik keluarga ini.

Peralatan dapur yang dimilki keluarga itu pun tak luput dari serangan rayap. Foto: Dok banthayo

Fatma berkisah, rumah berukuran tak lebih dari 12 persegi itu dibangun pada tahun 2015 silam. Saat hujan mengguyur malam hari, ia dan seluruh keluarganya kedinginan karena air menembus hingga kamar tidur.

"Kalau hujan turun malam hari, kami tidak tidur. Hanya duduk menanti hujan reda," ucap Fatma.

Pendapatan suaminya yang bekerja sebagai petani penggarap terkadang tak mampu memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari.

"Penghasilan suami saya tidak tetap. Uang yang didapat sehari, habis hanya untuk biaya makan saja," kata Fatma.

Fatma Wolango bersama suaminya Mahmud Toi. Foto: Dok banthayo

Untuk membantu kebutuhan keluarganya, Fatma bekerja sebagai guru ngaji. Muridnya berasal dari tetangga sekitar. Dari pekerjaannya itu, wanita paruh baya ini mendapat upah sebesar Rp 350.000 setiap bulan yang diberikan oleh pemerintah desa setempat.

Upah menjadi guru ngaji digunakan untuk biaya makan dan membiayai dua putrinya yang masih bersekolah, sisanya dijadikan sebagai modal untuk membuat kue. Sayang, warung tempat Fatma berjualan juga sudah rusak. Hingga Fatma pun berhenti berjualan.

"Saya belum bisa berjualan karena kesulitan modal dan warung sudah rusak," tegas Fatma.

Warung tempat berjualan Fatma yang rusak. Foto: Dok banthayo

Mahmud Toi, suami dari Fatma terus berjuang menafkahi istri dan anak-anaknya. Ia tidak mau berpangku tangan dan berdiam diri. Semua pekerjaan akan dilakukanya demi mengepulkan asap dapur.

Beban terberat yang dipikulnya sebagai kepala keluarga saat ini adalah mewujudkan impian keluarga untuk memiliki hunian yang layak. Namun upaya untuk memilikinya terkendala lahan. Sebab lahan tempat rumahnya dibangun itu milik orang lain.

"Tanah ini milik orang lain. Pemilik mau menjualnya Rp 20.000.000," tutur Mahmud.

Atap nipah yang sejatinya melindungi mereka dari terik panas dan hujan bocor dan berjatuhan ke tanah. Foto: Dok banthayo

Kendala lahan yang bukan hak milik, ditambah bangunan rumah yang sudah rusak adalah masalah terbesar yang harus ia pikul. Hidup dengan segala keterbatasan membuat keluarga ini tak berdaya. Bahkan terkadang Mahmud dan seluruh keluarganya tidur dengan perut kosong.

"Terkadang kami tidak makan," ujarnya.

Kondisi bangunan rumah Fatma Wolango. Foto: Dok banthayo 

Keluarga ini berharap ada masyarakat yang secara ihklas membantu meringakan beban penderitaan yang mereka hadapi. Sebab pemerintah desa tak bisa memberikan bantuan rumah kepada warga yang belum memilik lahan.

Hal ini dibenarkan Penjabat Sementara Kepala Desa Gentuma, Hais Pakaya.

"Kendala kami dalam memberikan bantuan rumah layak huni kepada keluarga itu adalah kepemilikan tanah," pungkas Hais.