Kisah Pilu Nenek Koje Bertahan Hidup Jadi Tukang Pijat Dibayar Seikhlasnya

Kisah Pilu Nenek Koje Bertahan Hidup Jadi Tukang Pijat Dibayar Seikhlasnya
Sartin Pakaya alias Nenek Koje. Warga Desa Buhu, Kecamatan Talaga Jaya, Kabupaten Gorontalo. Rabu (12/7). Foto: Dok banthayo

Kabupaten Gorontalo- Di usia lanjut seseorang seharusnya menikmati masa senja dengan hidup tenang dan bahagia. Namun hal itu tak berlaku bagi perempuan lanjut usia bernama Sartin Pakaya yang kerap dipanggil Nenek Koje.

Sehari-hari, nenek yang tinggal di sebuah rumah di Dusun Dua, Desa Buhu, Kecamatan Talaga Jaya, Kabupaten Gorontalo itu mencari nafkah menjadi tukang pijat dengan bayaran seikhlasnya. Nenek berusia 67 tahun itu menjadi pahlawan bagi keluarga kecilnya.

Menjadi tukang pijat harus dilakoninya. Ia tak memasang tarif tertentu kepada orang yang membutuhkan jasanya. Masyarakat yang membutuhkan jasa pijat bukan hanya warga di desanya, namun ia juga kerap mendapat panggilan untuk memijat hingga ke desa-desa tetangga.

"Saya tidak mematok harga, berapa pun saya terima dengan ikhlas," jawab Nenek Koje kepada Banthayo. Rabu (12/7).

Hampir tak ada perabotan mewah yang dimiliki Nenek Koje. Hanya ada beberapa kursi di rumahnya yang digunakan untuk menerima tamu yang datang.

Untuk mengganjal perut, Nenek Koje mengaku terkadang harus berhutang di warung tetangganya, terutama kala mengalami kesulitan. Sebab tidak setiap hari ia mendapatkan panggilan memijat. Kondisi ini yang membuat ia tak memiliki pendapatan tetap.

“Kadang sampai satu minggu tidak ada panggilan untuk memijat,” ungkapnya.

Di usianya kini, kondisi fisik Nenek Koje makin menurun. Keriput di tangan dan wajahnya mengggambarkan betapa kerasnya perjuangan hidup yang harus ia lalui seorang diri. Suami yang ia cintai telah meninggalkannya untuk menghadap Sang Pencipta beberapa tahun silam.

Nenek Koje mengaku memiliki dua orang saudara dan tiga orang anak. Namun anak dan saudaranya yang berada di Sulawesi Tengah tersebut tak pernah mengunjunginya. Sambil menahan tangis, Nenek Koje mengutarakan kerinduannya ingin sekali bertemu anak-anaknya yang bernama Yusni, Hasan dan Eman Hente. dan dua orang saundara kandungnya yakni Nani dan Eri Pakaya yang sudah bertahun-tahun tak berkunjung ke rumahnya.

“Saya rindu bertemu anak dan saudara. Mereka sudah bertahun tak berkunjung,” ucapnya lirih.

Kumpulkan Uang dari Memijat untuk Biaya Berobat Cucu

Nenek Koje harus rela berjuang banting tulang seorang sendiri untuk membiayai pengobatan cucunya yang bernama Fachril Awat Suel. Foto: Dok banthayo

Kisah pilu lansia ini tak berhenti di situ saja. Nenek Koje harus rela berjuang banting tulang seorang sendiri untuk membiayai pengobatan cucunya yang bernama Fachril Awat Suel.

Belasan tahun ia memenuhi kebutuhan Fachril yang dititpkan orang tuanya sejak lulus dari bangku sekolah dasar. Fachril, putra pasangan Yusni Hente dan Awat Suel itu hanya mendapat kasih sayang dari neneknya. Selama hampir 15 tahun itu pula, tak ada kabar dari kedua orang tua Fachril. Menurut kabar, kedua orang tua Fachril sudah berpisah.

“Sejak kecil, Fachril sudah dititipkan orang tuanya kepada saya. Kondisi fisik Fachril tergolong lemah dan sering sakit-sakitan, ia tidak bisa melakukan aktifitas berat,” kata Nenek Koje.

Keadaan Nenek Koje yang semakin menua membuat ia pasrah dan hanya berharap simpati orang untuk membantu memenuhi kebutuhan cucunya. Upah dari menjadi tukang pijat tak cukup untuk membiayai pengobatan cucunya yang makin hari makin memburuk.

“Hampir tiap hari penyakit asma Fachril kambuh, kadang sampai kejang-kejang. Kejangnya baru meredah jika dipijat di bagian punggung,” bebernya.

Jurnalis Banthayo saat mewawancarai Nenek Koje. Foto: Dok banthayo

Nenek Koje mengisahkan, Sejak kecil hingga saat ini, Fachril sudah dibawa berobat ke berbagai tempat, mulai dari puskesmas, dokter praktek, tempat pengobatan altetnatif hingga membuat ramuan tardisioal untuk dijadikan obat penawar dari penyakit penyakit yang ia derita. Namun penyakit yang di derita Fachril tak kunjung membaik.

Karena sakit yang terus menggorogotinya cucunya, Fachril terpaksa harus putus sekolah. Fachril hanya menyelesaikan pendidikan sampai jenjang SMP. Ia memilih untuk tidak melanjutkan sekolah ke jenjang pendidikan SMA karena kondisi fisiknya yang lemah dan tak mampu melakukan aktifitas di luar rumah. Ditambah himpitan ekonomi keluarga yang serba kekurangan membuat Nenek Koje membiarkan cucu kesayanganya itu berdiam diri di rumah. Sambil menjalani perawatan seadanya.

“Fachril mengidap asma sejak kecil. Dia hanya mampu bersekolah sampai SMP. Dan memilih tidak lanjut ke SMA karena sering sakit dan kekurangan biaya,” ucap Nenek Koje.

Walau harus banting tulang, Nenek Koje tetap berusaha untuk memenuhi gizi cucunya. Setiap hari Fachri disuapi bubur nasi tanpa lauk apapun. Pengobatan Fachril menjadi kebutuhan utama bagi keluarga ini. Sehingga memerlukan uluran tangan orang lain agar bisa membelikan obat-obatan untuk cucunya tersebut.

“Sudah tak terhitung biaya yang habis untuk mengobati Fachril.” tandasnya.

Selama menjalani pengobatan, Fachril harus mengeluarkan biaya sendiri. Karena belum terdaftar sebagai peserta BPJS.

“Yang terpenting bagi saya, Fachril bisa segera mendapatkan perawatan medis. Karena saya rasa itu yang sangat ia butuhkan saat ini. Sementara untuk mengurus BPJS secara mandiri butuh biaya dan transportasi yang tidak sedikit,” pungkas Nenek Koje sambil menghelas nafas.

Penulis: Burhan Bakari